Berita Terbaru

Pantun Bertuah

CERPEN KITA (16/11/2015) - "Baik Bah, sebaiknya Abah istirahat dulu. Biar Cuya yang menghabiskan pasir ini." Kata Cuya seorang anak yang masih berumur belasan tahun.
Dua matanya terlihat berbinar. Tak terlihat sedikitpun dari wajahnya rasa lelah walau sudah melakukan pekerjaan berat. Bajunya basah diguyur hujan gerimis sore hari.

Dua lelaki berbeda usia itu sudah terkenal di kalangan para penambang pasir. Mereka adalah Wak Uteh dan Cuya, Bapak dan Anak yang pekerjaan sehari-harinya sebagai kuli pengangkat pasir para Juragan Pasir di sungai Wampu. Mereka juga terkenal dengan kepandaiannya berpantun. Terkadang bila selesai pekerjaan mereka mengangkat pasir sebelum siang hari, mereka mencari tambahan penghasilan dengan menghibur orang dengan pantun-pantunnya yang jenaka. Banyak yang senang dengan hiburan pantun mereka berdua sehingga tidak jarang mereka dipanggil untuk menghibur di pesta-pesta perkawinan penduduk setempat.

"Muara sungai Tanjung, dalamnya air membuat sampan tergantung, biar pasir tuan-tuan ada segunung, kami berdua yang tanggung."
Sambung Cuya ikut berdendang melalui pantun-pantun pembukanya.
"Datuk! Berikan segelas kopi dan teh manis untuk mereka, aku yang bayar. Sekalian gorengannya ya!" Teriak Juragan Pasir Oda Latif pada Datuk si empunya warung, dipinggir sungai.

Oda Latif memang seorang juragan yang paling gemar mendengar pantun-pantun wak Uteh dan Cuya. Tidak jarang Wak Uteh diberu upah yang lebih setelah mereka bekerja mengangkat pasir dari sampan ke tangkahan. Bahkan ketika acara khitanan anaknya yang paling kecil, Oda Latif memesan khusus Wak Uteh satu hari satu  malam untuk menghibur para tamunya yang datang.

Wak Uteh dan Cuya menikmati kopi dan segelas teh manis serta aneka gorengan yang telah disediakan Datuk di atas meja mereka. Semua orang yang saat itu berada di warung Datuk tertawa senang. Sementara itu hujan semakin hebat, mengguyur perkampungan Pay Mabar.

Begitulah seperti biasanya, suasana yang riuh, ramai dan damai di warung kopi milik Datuk. Kehadiran Wak Uteh dan Cuya membuat semua pekerja penambang pasir dan para Juragan pasir terhibur hingga hilang lelahnya.
"Tuan, Tuan, Ibu, Ibu. Ayo mari kemari, saya sediakan daging sapi pilihan terbaik." kata pedagang sapi setiap kali berteriak menjajakan dagangannya.
Walau keras suara teriakan pedagang sapi, namun para pembeli hanya lewat melintasi barang dagangannya begitu saja. Para pembeli terlihat mulai jijik  melihat lalat-lalat hijau ramai hinggap di atas daging sapi.
"Sial, hari ini aku sungguh sial. Hanya dua orang saja yang baru membeli daganganku!" teriak merutuki nasibnya.
"Wah, datah tinggimu lagi kumat rupanya." sindir Salim.
"Sudahlah, kau jaga mulutmu itu. Nanti kupukul kau pakai sapi ini!" teriak Hasan sekali lagi.
Tiba-tiba . . .
Suara dawai biola yang digeseknya terdengar merdu dan mendayu-dayu menyntuh perasaan setiap orang yang mendengarnya.
"Ikan Tengiri, Ikan kedondong, Mencari rezeki janganlah bingun, Tuan dan puan mari-kemari, Siapa tahun mau memborong!" teriak Wak Uteh mulai mendendangkan syair-syair pantunnya.

Semua pedagang dan para pembeli merasa terhibur dengan kehadiran Wak Uteh dan anaknya. Kadang mereka tertawa sambil bertepuk tangan. Riuh suara sorak dan tepu tangan seakan memberi semangat Wak Uteh dan Cuya untuk melanjutkan pantun-pantunnya.
"Lima ratus harga seiikiat, seribu harga dua ikat, Ibu-ibu jangan terpikat, Tuan berjualan jangan terlalu dekat!" Teriak Cuya menyambung pantun ayahnya.
"He he he he he. Pandai juga kau Cuya, ayo lanjutkan!" teriak Salim memberi semangat pada Cuya.
Sekarang hati Hasan betambah kesal, karena kerumunan orang yang menonton Wak uteh dan anaknya sampai menghalangi barang dagangannya.

Semakin kesalnya ia, Hasan memukul-mukul daging sapinya dengan sapu lidi pengusir lalat. Ia melampiaskan rasa kesalnya pada lalat yang terus saja menganggu barang dagangannya. Tidak beberapa lama kemudian, kerumunan penonoton semakin ramai. Mereka tertawa tersenyum ceria, senang mendengar pantun jenaka Wak Uteh dan Cuya di pagi hari. Cukup banyak penonton yang melemparkan uang bakul bambu yang telah disediakan Cuya.

Praaak? Biola Wak Uteh menjadi dua. Buuukk! Hasan memukulkan patahan biola ke punggung Wak Uteh. Wak Uteh membelalakkan matanya, ia ketakutan. Wajahnya menahan rasa sakit. Melihat hal itu, serentak kerumunan para penonton menyerang hasan. Mereka melempari hasan dengan tomat yang baru saja mereka beli. Hasan menjadi semakin marah, ia memukul membabi buta. Akhirnya, tidak lama kemudian, beberapa pejabat istana datang ke pasar pay Mabar menangkap Hasan. Sedangkan Wak Uteh dan Cuya di papah oleh para penonton di sebuah warung milik pedagang sayur.

Cuya hanya terdiam sedih mendengarkannya, beberapa saat lamanya Cuya masuk ke dalam kamar kemudian melihat tabungan bambu yang tergantung. Ia mengambil tabungan bambu itu kemudian membawanya ke belakang rumah dan membelahnya menjadi dua.

Tidak lama kemudian Cuya selesai menghitung uang tabungannya.
"Semuanya ada enam puluh lima ribu rupiah . . . syukur Alhamdulillah." kata Cuya mengucapkan puji syukur.
Cuya bergegas lari keluar rumah menuju ke kedai Pak Hanif. Sesampainya di sana, nafasnya terengah-engah. Ia  melihat sebuah biola yang hampi sama dengan kepunyaan ayahnya.
"Tuan Hanif, berapa harga biola itu?" tanya Cuya pada Pak Hanif.
"Tujuh puluh lima ribu rupiah," jawab Pak Hanif.
"Tidak bisa kurang tuan Hanif?" tawar Cuya pada Pak Hanif.
Cuya menerimanya dengan senang hati, wajahnya tersenyum ceria. Ia segera memberikan beberapa lembar uang ribuan dan uang receh yang sudah lama ia kumpulkan, mulanya uang receh itu ingin ia gunakan untuk membeli sebuah sampan untuk mengangkut pasir dari Pantai Gani.

"Terima kasih Tuan Hanif," kata Cuya langsung berlalu pergi. Cuya berlari dengan kencangnya, ia ingin segara sampai dirumah.
"Bah . . . bah!" teriak Cuya senang dari kejauhan.
"Ada apa Cuya!" teriak abahnya dari depan pintu rumah.
"Ini hadiah buat Abah!" kata Cuya sambil memberikan bungkusan biola.
"Hadiah apa?" tanya Abah, sambil membuka bungkusan yang diberikan Cuya.

Wak Uteh dan Emak menitikkan air matanya karena haru, melihat anak lelaki satu-satunya sangat mengerti apa yang diinginkan oleh Abahnya. Begitulah keakraban keluarga Cuya, susah senang dirasakan bersama.

Mereka tertawa bersama di warung Datuk. Pantun jenaka Wak Uteh dan Cuya mulai terdengar mendendang merdunya. Tidak beberapa lama kemudian dari kejauhan terlihat serombongan pejabat istana menuju ke arah warung Datuk.
"Selamat siang, siapa yang bernama Wak Uteh diantara kalian?" tanya salah satu pejabat istana.
Wak Uteh dan Cuya terdiam beberapa saat lamanya.
"Ada apa gerangan?" pikir Wak Uteh sambil memandang ke arah Cuya.
Oda Latif dan penambang pasir memandang ke arah Wak Uteh dan Cuya. Mereka menyangka kejadian perkelahian antara Wak Uteh dan Cuya dengan Hasan si pedangang sapi menjadi masalah yagn berkepanjangan.
"Ada apa gerangan?" tanya mereka semua serempak.
"Nanti saja saya jelaskan setibanya di istana kerajaan." kata pejabat istana kerajaan yang menemui mereka .

Setiba kembali dari istana kerajaan Pay Mabar, Wak Uteh dan cuya terlihat bergembira. Emak menyambut mereka dengan wajahnya yang terheran-heran. Beberapa bungkusan hadiah dari permaisuri istana kerajaan sudah berada di hadapannya.
"Syukur Alhamdulillah, hadiah apa yang kau bawa itu bah?" tanya Emak pada Abah dan Cuya begitu sampai di rumah diantar oleh dua orang pengawal istana.
"Alhamdulillah, Abah dan Cuya dapat rezeki untuk menghibur raja di istana." kata Abah menjelaskan.
"Tuanku Baginda Raja sedang sakit. Sebelum sakit beliau mendapat mimpi jatuh ke dalam sumur tua, kemudian ia bertemu orang tua yang menyelamatkannya, beliau berpesan pada Tuanku Baginda Raja, dengarkan mutiara kata yang terangkai biar semangat tidak dibuai oleh putri bunian di dalam sana" kata Wak Uteh menjelaskan pada isterinya.

Keesokan paginya, Wak Uteh dan Cuya sudah ditunggu oleh tiga orang pejabat istana dengan kereta kudanya. Wak Uteh dan Cuya juga sudah terlihat bersiap-siap, mereka mengenakan pakaian adat Melayu seperti biasanya ketika mereka menghibur para tamu di pesta-pesta pernikahan dan khitanan.

Mereka diantarkan sampai ke taman bunga istana. Sesampainya di sana, terlihat raja sedang duduk melamun di temani oleh permaisuri dan seorang pengawal istana kerajan. Wak Uteh dan Cuya mulai memainkan biolanya. Irama lagi Sri Langkat, mulai berdendang merdu dan mendayu-dayu. Mendengar lagu itu Tuanku Baginda Raja mulai menunjukkan mimik wajah muka yang bersahaja.
"Kembang Sepatu tumbuh di batu, mohon raja janganlah ragu, serahkan semua pada Allah yang satu, kita berjuang tetap bersatu." Pantun Wak Uteh mulai terdengar merdu.
"Laut berombak Kapal bergoyang, kalau nahkoda hendak berjuang, jangan pernah ada bimbang, tetapi maju surut berpantang." Cuya membalas pantun abahnya.
"Musim kemarau burung bangau, terdengar suara pemburu parau, biar semua jadi galau, melihat baginda raja terus menghalau." Wak Uteh melanjutkan pantunnya.

Begitulah setiap harinya, Tuanku Baginda Raja secara perlahan mulai berangsur pulih. Beberapa hari kemudian Tuanku Baginda Raja sudah bisa berjalan walaupun dengan perlahan-lahan. Permaisuri terlihat gembira, tidak sedikit hadiah yang diberikan permaisuri pada Wak Uteh dan Cuya di setiap kalinya Wak Uteh dan Cuya pulang ke rumahnya. Emak sangat senang menerimanya, Emak membagi-bagikan sedikit hadiah yang diterimanya dari istana pada para tetangga. Para tetangga merasa bangga pada keluarga Wak Uteh yang bisa membuat kampung halamannya disegani oleh pejabat istana dan penduduk kampung lainnya.

Wak uteh dan keluarganya tidak lupa pada sahabat sekampungnya. Mereka sering kali datang mengunjungi Oda Latif sang Juragan pasir dan para penambang pasir di warung Datuk. Tidak lupa mereka membawa beberapa bingkisan untuk para tetangganya.

SEKIAN, TAMAT.

Post a Comment

Previous Post Next Post