
CERPEN KITA-Sejarah (16/11/2015) - Hari Pers Nasional (HPN) yang diperingati setiap tanggal 9 Februari. Pada hakikatnya berasal dari peristiwa yang terjadi pada tanggal yang sama tahun 1946 di Solo, yakni hari dimulainya pendirian Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Meskipun pembicaraan permulaan diadakan di Yogyakarta, karena kala itu ada ketetapan pemerintah bahwa semua jenis kongres, mukamar, dan pertemuan besar tidak dibenarkan diadakan di Ibu kota Republik, diputuskanlah kongres diadakan di Solo.
Panitia kongres segera dibentuk, diketuai oleh Darmosugondo dan Sudaryo Tjokrosisworo sebagai panitera (penulis/sekretaris) dibantu oleh Soeroso sebagai bendahara, serta sejumlah pemuda pelajar (yang saat itu sudah mampu mengelola penerbitan surat kabar sendiri).
Jelaslah bahwa yang hadir pada waktu itu belumlah semua wartawan dari seluru Indonesia karena situasi memang tidak memungkinkan. Blokade Belanda di darat dan di laut menghalangi datangnya wartwan dari kepulauan lain, atau pun dari kota penduduk Belanda. Memang kala itu ada dua wartawan yang datang dari Sulawesi dan Sumatra Tengah, tetapi kehadiran mereka di Solo boleh disebut secara kebetulan saja.
Wartawan Soeara Indonesia, Manai Sophian, saat itu terpaksa melarikan diri dari Sulawesi (Ujung padang) karena dikejar-kejar tentara Belanda. Dengan perahu layar, dia tiba di Situbondo, Jawa Timur, dan meneruskan perjalanannya ke Solo untuk menemui rekannya, Soedaryo Tjokrosisworo, sesama aktivis Partai Indonesia Raya (Parindra) serta Surya Wirawan.
Chaidir Gazali dari koran Pedoman Kita (Terbingtinggi, Sumatra Tengah) juga tercatat sebagai peserta kongres. Sesuai kongres, ia tidak kembali ke Sumatra, tetapi menetap di Yogyakarta dan menjadi wartawan lepas.
Kongres hari pertama ( 9 Februari 1946) diadakan malam hari di Gedung Sasono Suka Solo, dihadiri sekira 200 orang. Di antara hadirin, ada Menteri Penerangan (kala itu dijabat oleh Moh. Natsir) dan Menteri Pertahanan (Amir Syarifuddin).
Panitia terdiri dari Syamsuddin Sutan Makmur, Mr.Sumanang, Sumantoro, Bintarti, Adam Malik, dan Soedaryo Tjokrosisworo. Mereka bertugas memilih nama organisasi yang akan didirikan, menentukan acara kongres, serta menyusun anggaran dasar perhimpunan. Akhirnya, disepakati bersama nama organisasi adalah Persatuan Wartawan Indonesia.
Meskipun keputusan panitia itu diambil pada 9 Februari, pukul 23.00, keputusan disahkan oleh kongres pada 10 Februari, pukul 01.00. Pada 10 Februari, pukul 08.30, pertemuan diadakan lagi untuk menentukan kriteria nama-nama yang dapat menjadi anggota organisasi.
Di dalam anggaran dasar organisasi, dicantumkan bahwa semua wartawan warga negara Indonesia, dengan tidak membedakan agama dan haluan politik, baik laki-laki maupun perempuan, dapat menjadi anggota perhimpunan itu. Ada tiga macam anggota, diantaranya anggota biasa (ialah mereka yang hidup dari pekerjaan tulis-menulis dalam surat kabar, misalnya pemimpin redaksi, anggota redaksi, dan juru warta). Anggota luar biasa ialah mereka yang melakukan pekerjaan tulis-menulis dalam surat kabar tidak sebagai mata pencarian dan atau pemimpin redaksi majalah partai atau serikat pekerjaan, majalah lain, dan siaran radion. Anggota mulia adalah anggota yang karena jasanya pada perhimpunan, diangkat oleh rapat anggota dengan suara bulat. Dari peserta kongres yang mendaftarkan diri, setelah diadakan pemeriksaan, hanya 92 orang yang dianggap memenuhi syarat untuk menjadi anggota.
Pada Minggu, 10 Februari 1946, pukul 14.00 di tempat yang sama, diadakan pemilihan pengurus organisasi. Secara aklamasi dipilih Mr. Sumanang sebagai ketua, sekaligus ditugasi menyusun pengurus lengkap. Kebijaksanaan diserahkan sepenuhnya kepada ketua, yang setelah berunding sebentar dengan beberapa rekan, lalu mengumumkan susunan pengurus Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang pertama.
Mr. Raden Mas Sumanang Suriowinoto (Ketua), Syamsuddin Sutan Makmur (wakil ketua), R.M Soedaryo Tjokrosisworo (sekretaris), B.M. Diah (anggota), Djawoto (anggota), Soemantoro (anggota), Harsono Tjokroaminoto (anggota).
Sangat mengesankan bahwa waktu itu rasa persatuan serta kesatuan begitu meliputi perasaan seluruh peserta kongres. Wartawan sejati boleh ber"isme" apa saja, tetapi darah dan jiwa wartawan pasti mencintai vaknya. Demikain diucapkan Ketua Panitia Kongres, Darmosugondo. Istilah Profesi memang masih belum lazim waktu itu.
Hal yang hebat lagi ialah, sewaktu diadakan resepsi penutupan di Hotel Merdeka, peserta yang datang menggunakan pakaian yang bermacam-macam. Ada yang berpakain serbalusuh karena memang tidak mempunyai baju ganti. Ada pula yang berpakaian dril atau blacu, juga ada yang mengenakan kaplaars, sepatu boot peninggalan tentara Jepang. Tidak sedikit pula wartawan yang berambut gondrong karena memang tidak sempat mencukurnya-disebabkan sibuk di medan pertempuran.
Saat itu berkumpul kaum wartawan yang ada di Jawa saja. Sebagaian dari mereka ada yang telah benar-benar berpengalaman, dalam bidang jurnalistik. Ada pula yang baru menerjuni dunia kewartawanan, bahkan tidak sedikit pula yang masih berstatus pelajar sekolah menengah atas. Dengan membawa paham masing-masing, semua wartawan menyatukan tekad dan misi : mempertahankan kemerdekaan Indonesia dalam bidang kewartawanan.
Post a Comment